Menemukan Imajinasi, Teror dan Romantisme Pada Sungai Martapura

“Kebijakan pipanisasi sejak 1937 terus berlanjut dan berujung pada sungai yang kehilangan marwahnya. Sungai tak lagi memiliki ritus dan pada sisi yang lain, masyarakat sungai abai terhadap objek hidupnya tersebut”

Silahkan Bagikan / Share :
Focus Group Discussion “Batang Banyu – Matan di Hulu Larut ka Hilir” (foto: TABIRkota/ist)

BERCABANG dari bentangan Sungai Martapura di Kalimantan Selatan (Kalsel), sejumlah anak sungai dan kanal masuk hingga ke bagian terkecil dari kota Banjarmasin. Sungai menjadi sarana hidup sepanjang hayat, hingga jalan dan perkerasannya hadir di era kolonial.

Manusia sungai berubah, kini memalingkan rumahnya membelakangi sungai-sungai yang awalnya menjadi ruang hidup berubah menjadi ruang buang.

Kebijakan pipanisasi sejak 1937 terus berlanjut dan berujung pada sungai yang kehilangan marwahnya. Sungai tak lagi memiliki ritus dan pada sisi yang lain, masyarakat sungai abai terhadap objek hidupnya tersebut.

Sungai hanya hadir sebagai jalur lintasan tranportasi atau hanya menjadi seperti objek semata yang dianggap pusaka jika ada pentingnya.

Focus Group Discussion “Batang Banyu – Matan di Hulu Larut ka Hilir” merupakan program publik dari proyek residensi MODUS/Air, sebagai bagian dari Jejaring Rimpang, Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Kegiatan ini merupakan kerja sama Indeks (Bandung), Pertigaan Map (Surabaya) dan rekanan residensi Borneo Urban Lab (Banjarmasin).

FGD ini merupakan bagian dari rangkaian panjang residensi seniman terpilih dari program Modus/air yakni Novyandi Saputra (Banjarbaru).

Novyandi mencoba menggali data-data, baik data saintifik maupun data yang berbasis pengetahuan pengalaman dari banyak pihak yang menjurus pada temuan motif-motif yang bisa digerakan sebagai wahana artistik.

FGD kali ini dihadiri oleh sekitar 20 orang dari latar belakang yang berbeda mulai dari mahasiswa, penggiat seni, pemerhati lingkungan, hingga akademis. Bersama mendengarkan dan belajar mengenai kondisi sungai di Banjarmasin dari berbagai perspektif.

Ada sekitar 115 sungai yang menurut pegiat lingkungan, H Hamdi sebagai tercemar standar dimana ikan-ikan sungai mengandung mikroplastik dengan kandungan logam berat yang harus diwaspadai bersama.

“Hal tersebut tentu berdampak pada kulitas air dan kondisi oksigen di dalam air yang menjadi rendah,” ujarnya.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan bersama, katanya, adalah dengan menanam pohon di pinggir sungai.

“Kalau kita ingin masyarakat peduli dengan sungai, masyarakat harus merasakan dulu keberadaan sungai,” katanya.

Sementara itu, Prof Bambang mengungkapkan, kehadiran kanal di Banjarmasin bisa memberikan manfaat multifungsi tanpa disadari masyarakat, mulai dari mengalirkan sumber air, transportasi bahkan untuk pertanian.

“Ada lima kanal khas banjarmasin yaitu anjir, antasan, saka, tatah dan handil, dimana semua jalur air di kalimantan selatan terpengaruh hidrodinamika Sungai Barito,” katanya.

Kegiatan diskusi kali ini memberikan banyak ruang-ruang untuk berbagi bersama seluruh kelompok, melihat bagaimana perspektif antar kelompok dapat terbangun dan diselaraskan hingga membuka ruang kolaborasi untuk menjaga sungai bersama.

Modus diinisiasi dengan memilih isu air dan lingkungan sebagai titik keberangkatan pertama—diawali dengan riset dan pemetaan isu, kemudian meninjau dan mengevaluasi kembali bagaimana “air” hadir dalam praktik artistik seniman.

Semula, lokus pertama yang dipetakan oleh kuratorial Modus Air adalah Bandung yang hasil penelusurannya telah dipresentasikan bulan Februari-Maret 2023 di Indeks Project Space, Bandung.

Dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2023, di bawah gagasan kuratorial “Jejaring, Rimpang” yang diangkat oleh Enin Supriyanto, Grace Samboh dan Lilin Rosa Santi, Modus Air mengembangkan cakupan geografis yang dilingkupinya dengan merambah Samarinda dan Banjarmasin sebagai dua lokus residensi dan riset artistik.

Residensi ini akan melibatkan dua seniman dari luar lokus dan dua seniman yang berbasis di Kalimantan. Pendekatan ini diterapkan untuk menginvestigasi bagaimana riset artistik dengan fokus topik yang terkerucut bisa dilaksanakan dengan mempertemukan dua seniman di satu lokus yang sama.

Hasil residensi yang diproduksi oleh keempat seniman akan dipresentasikan bersamaan dengan delapan karya seniman lainnya yang sebelumnya pernah mengeksplorasi isu air di konteks wilayahnya masing-masing.

Selama masa residensi dan pameran, Modus Air juga merencanakan sejumlah kegiatan yang mengundang keterlibatan audiens umum dan publik luas, di antaranya: lokakarya di sekolah, sesi wicara, pemutaran film, serta tur pameran. (ra/rls)

Silahkan Bagikan / Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Bupati HST: Muhammadiyah Berperan Mengantarkan Bangsa Menuju Kemerdekaan

Sab Sep 2 , 2023
"Muhammadiyah diharapkan tetap teguh dan konsisten memantapkan peran dalam proses pembangunan, terutama meminimalisir munculnya masalah kilafiyah, memantapkan ukuwah islamiah dan wataniah serta berpartisipasi dalam pengentasan kemiskinan"

You May Like