Guru dan Tugas “nang Kada Kajambaan”

“Semakin kada kajambaannya tugas guru atau kepala sekolah, dosen dan guru besar, ditakutkan akan meruntuhkan nilai-nilai luhur seorang pendidik karena bukan kah guru bukan sekedar mengajarkan soal eksak tapi juga ahlak”

Silahkan Bagikan / Share :
Ilustrasi orang sedang pusing (net)

Penulis: Kayla Untara

Bagaimanapun, tugas seorang pengajar adalah mengajar. Kewajiban pendidik adalah mendidik murid-muridnya. Keharusan seorang guru adalah mentrasfer ilmu.

Guru digugu dan ditiru. Sebuah falsafah yang sangat dalam maknanya karena sudah pada level tauladan. Tidak sekadar membikin pintar menghitung membaca, namun juga mengajarkan tata krama.

Begitulah hakikatnya seorang guru. Kalaupun kemudian ada pekerjaan tambahan mengurus administratif, maka itu mestinya hanyalah bagian kecil dari tugas pokok guru.

Jangan sampai kejadian di mana guru atau kepala sekolah merangkap sebagai “pimpro” dana DAK yang pada akhirnya membuat banyak kepala sekolah hari-harinya kutup-kutupan (deg-degan) jika ada pemeriksaan pertanggungjawaban pasca pelaksanaan pekerjaan.

Tidak guru, tidak juga dosen. Beragam problematika profesi pendidik ini kian hari nampaknya semakin pelik. Meski berbeda pokok persoalan, namun akan mengerucut pada satu hal; cenderung menganggu fungsi dan tugas utama sebagai orang yang memiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan (anak) bangsa.

Baik guru ataupun dosen, setali tiga uang kondisinya saat ini yang seakan sedikit demi sedikit menjelma menjadi manusia-manusia birokrasi.

Kondisi semacam ini mau tak mau membawa guru tak lagi sebagai profesi pengabdian, namun berubah haluan karena semata soal mempertahankan penghasilan. Di tengah tuntutan ‘berdamai’ dengan perkembangan teknologi melalui beragam aplikasi digital (yang kerap berganti dan sering error) maka jelas akan berkonsekuensi terhadap banyak hal.

Kegiatan-kegiatan administratif yang diwajibkan malah acap kali disertai dengan ancaman-ancaman semisal pemotongan tunjangan atau seumpamanya. Pengabdian yang disertai ancaman ini membuat mindset guru bahkan dosen menjadi “akal pilanduk” (mencari cara untuk mengakali/akal-akalan).

Contoh kecil saja, soal absensi digital. Pada akhirnya “akal pilanduk” ini jadi cara praktis dalam menyelesaikan problem agar tidak dianggap telat masuk kantor/sekolah dan nilai tunjangan profesi aman.

Contoh kecil itu bukankah pada akhirnya melemahkan moralitas serta integritas banyak guru (terutama guru senior yang memang butuh waktu lama untuk beradaftasi dengan gadget serta beragam aplikasinya), karena ia dituntut untuk “mamintari” (mengakali), bukan malah “mamintarakan” (mencerdaskan).

Pasca terbitnya permen PAN-RB, banyak diprotes para akademisi sebab sebagian dari mereka beranggapan tak ubahnya menjadi (tanpa bermaksud merendahkan status buruh) buruh-buruh birokrasi. Ada anggapan jika dosen bukanlah lagi seorang akademisi yang memiliki kebebasan logika.

Tentu saja suara-suara macam ini tak bisa serta merta disalahkan. Ada kekhawatiran bahwa kampus-kampus bukan lagi wadahnya para peneliti, namun hanya bicara soal tetek bengek absensi yang akhirnya hanya melahirkan para pekerja, bukan para cendikia.

Sekolah tidak lagi tempat menanamkan ilmu dan akhlak, tetapi lambat laun berubah sekadar ruang untuk mendapatkan ilmu eksak.

Belum lagi terlampau seringnya kurikulum pembelajaran yang terkesan bersifat trial error. Mesti harus berapa dekade dunia pendidikan kita sekadar menghasilkan jebolan muridnya dari hasil trial error seperti ini (?).

Dengan adanya pengelolaan dana BOS saja sudah membuat sebagian guru dan kepala sekolah “bilang kada kajambaan” (kerja pontang-panting) membagi waktunya antara tugas pokok dan tugas administratif itu.

Memang, penyesuaian pada dunia digital sebuah keniscayaan, namun jangan jua tatalu kancang tali gas (terlalu kencang tali gas; perumpamaan, jangan ngegas). Persoalan pemenuhan hak dasar anak-anak usia sekolah, di Indonesia, di kalsel, di Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) apalagi, berupa fasilitas pendidikan layak masih perlu perhatian lebih dari pada soal bicara Merdeka Belajar.

Di banyak sudut-sudut Meratus sana, untuk belajar saja mereka belum merasakan yang namanya merdeka. Secara teori, program Merdeka Belajar menjanjikan situasi yang fenomenal, memang. Namun implementasinya di lapangan tidaklah seindah yang ada di atas kertas.

Terdapat tiga indikator keberhasilan program Merdeka Belajar yang digagas kementerian era Nadiem ini. Yakni partisipasi siswa-siswi dalam pendidikan Indonesia yang merata, pembelajaran yang efektif dan tidak adanya ketertinggalan anak didik.

Pencapaian tiga indikator yang ditandai dengan adanya perbaikan infrastruktur dan teknologi di mana guru-guru dituntut menguasai platform pendidikan nasional berbasis teknologi. Lalu lahirlah namanya Guru Penggerak dan seumpanya, demi pencapaian program. Bukankah terdengar menjanjikan(?). Teorinya, setidaknya, ya, bicara seperti itu.

Dengan semakin kada kajambaannya (kondisi seseorang yang mengerjakan sesuatu yang beragam banyaknya) tugas guru atau kepala sekolah, dosen dan guru besar, ditakutkan akan meruntuhkan nilai-nilai luhur seorang pendidik.

Sekali lagi, bukankah guru kada sahibar (bukan sekedar) mengajarkan soal eksak tapi juga akhlak dan dosen tak sekadar melahirkan manusia-manusia calon pekerja namun juga ilmuan sekaligus penjaga moral dan budaya.

Kita tak mengharapkan moralitas guru terdegradasi disebabkan hanya soal mamintari absensi dengan fake aplikasi. Kebijakan digitalisasi melalui beragam aplikasi mestinya minim potensi akal ma-akali.

Program Merdeka Belajar atau Merdeka Mengajar (dengan meningkatkan SDM guru dan partisipan siswa) hendaknya tidak membuat siswa jadi (merasa) kurang (di)ajar.

Semoga. Maras buhan sidin bilang kada kajambaan

Penulis: Kayla Untara
Silahkan Bagikan / Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Peserta Pemilihan Nanang Galuh HST Ikuti Audisi Bakat

Sen Mei 29 , 2023
“Audisi Bakat merupakan tahapan kedua dari ajang Pemilihan Nanang Galuh HST 2023 dan kali ini dilaksanakan terbuka untuk umum agar menarik minat kaum milenial untuk mengikuti ajang pemilihan duta budaya itu"

You May Like