
Penulis: M Taupik Rahman
PADA setiap Pemilu, bentuk- bentuk kecurangan hampir pasti terjadi. Atau setidaknya, kita tak pernah bisa memastikan bahwa kecurangan sama sekali tak ada, meski tidak selalu bisa dibuktikan.
Kecurangan dapat terjadi dengan berbagai modus dan disetiap tahap penyelenggaraan Pemilu. Baik Pileg, Pilpres maupun Pilkada. Sejak persiapan, pencoblosan, hingga proses penghitungan suara dan pengumpulannya di pusat tabulasi, berbagai bentuk kecurangan sangat mungkin terjadi.
Kecurangan secara garis besar dapat berupa politik uang, kongkalikong antara penyelenggara dan peserta Pemilu, keberadaan pemilih fiktif dan sebagainya. Bolong-bolong yang terdapat pada setiap tahapan Pemilu, sangat berpotensi memberikan ruang dilakukannya kecurangan-kecurangan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Bagi kalangan yang menolak politik uang, mereka menganggap hal tersebut sebagai tindakan yang merusak arti demokrasi. Menyebabkan hasil dari pemilihan tidak murni karena ada tindakan yang memengaruhi pemilih dalam memberikan suaranya.
Tentu ada alasan tersendiri bagi pemilih yang bersedia mengikuti ajakan dalam tindakan politik uang. Entah itu alasan ekonomi, kedekatan (kekerabatan) dan berbagai alasan lainnya. Praktik politik uang bisa makin marak karena ada dua pihak yang saling membutuhkan. Penyuap berharap mendapatkan suara, sedang penerima mendapatkan uang atau barang.
Tentu alasan yang tidak bisa ditepikan adalah adanya anggapan bahwa politik uang sudah menjadi budaya yang sudah lekat.
Bahkan politik uang yang sudah ”membudaya” ini, seolah juga dibenarkan oleh elite-elite politik. Saking populernya, pernah ada ungkapan “terima uangnya dan jangan coblos orangnya”. Hal tersebut tetap saja salah, apapun motivasinya.
Jika memang kecurangan Pemilu, khususnya politik uang ini sudah menjadi budaya dan mendarah daging di Indonesia, maka menurut persepsi penulis pribadi, sebaiknya Pemilu di desain saja securuang-curangnya serta dilakukan secara masif dan terstruktur sistematis oleh Penyelenggara Pemilu maupun kontestan Pemilu.
Penulis analogikan seperti game judi yang digandrungi anak muda bahkan orang tua sekarang, yaitu Judi Slot, mereka tidak akan pernah sadar meskipun diimbau dan diminumi ”banyu tatamba” dari tuan guru.
Salah satu cara mereka bisa tobat dan sadar adalah biarkan saja sekalah-kalahnya dan sehancur-hancurnya sampai semuanya terjual dan tidak bisa deposit lagi. Namun ada dua kemungkinan konsikuensi, kalau tidak stress atau tobat se-sadar-sadarnya.
Begitu juga Pemilu, kita pesimis masyarakat akan sadar akan dampak dari politik uang kalau hanya dengan imbauan atau sekedar ancaman-ancaman dengan hukuman yang relatif ringan.
Karena itu, andai kita desain saja Pemilu 2024 ini dilakukan securang-curangnya dan melahirkan pemimpin-pemimpin yang akan menghancurkan Negaranya sendiri serta menyengsarakan rakyatnya.
Ada dua kemungkinan resikonya, yaitu masyarakat akan sadar secara universal atau negara ini jatuh dan hancur sama sekali. Setidaknya, itu menjadi pilihan berani terutama bagi penyelenggara Pemilu dan akan menjadi sejarah di negeri ini.
Hal itu sesuai dengan Al-qur’an surat Al A’raf ayat 96 yang menyebutkan “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia sendiri, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagiaan dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Pada sebuah forum diskusi, Ketua KPU Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Sarmuji pernah mengatakan, aktivitas politik uang memang sudah menjadi budaya di negeri kita dan hal terkecil yang dapat kita lakukan untuk menghindari serta memutus mata rantai itu adalah dengan memulai dari keluarga kita, anak kita, orang tua kita ataupun tetangga kita. Berikan mereka pemahaman untuk tidak terlibat menerima ataupun turut membagikan uang untuk Pemilu.
Penulis beranggapan, kalau mindset masyarakat saat ini memilih itu identik harus ada uang atau bayaran, maka pemerintah sebenarnya bisa membayar itu. Alokasikan saja Dana Desa sekitar 50 persen untuk membayar warga yang mau mencoblos datang ke TPS sekitar Rp600 ribu per orang dan akan dibayar selama tiga bulan berturut-turut seperti BLT misalnya. Sebut saja, BLT Pemilu.
Jika ada masyarakat ketahuan menerima uang dari calon peserta Pemilu, maka dicabut haknya sebagai penerima BLT Pemilu dan dihukum penjara seumur hidup. Atau segala haknya dicabut untuk mendapatkan fasilitas pemerintah seperti listrik, PLN, bank, sekolah dan lain-lainnya.
Saya yakin, hal tersebut lebih memberi efek jera dan Pemilu akan melahirkan orang-orang yang berkualitas serta dapat membangun negeri ini lebih baik lagi tanpa korupsi.***

Ketua Panwaslu Kecamatan Labuan Amas Selatan
Tinggal di Durian Gantang
Mantap nah katuju aku mambaca ie kaya ini,sindiran dunia nyata kda bakhususan mengembang luas,lanjut berkarya sebagai penulis ,mudahan kaya mba Nana ( Najwa Qurais Syihab)
Semoga dengan pemberitaan yg nyentil didunia nyata ini masyarakat ( rakyat Indonesia) sadar ,mudah2 an bisa membuat perubahan khusus dkota apam hst ini.