Saprudin

3

“Sebuah keadaan nyata dimana ada seorang Ayah yang “ditelantarkan” anak-anaknya, hanya karena menderita lumpuh. Allahu Rabbi, bagaimana mungkin?”

Silahkan Bagikan / Share :
Saprudin di gubuk reotnya (foto: TABIRkota/kayla untara)

Oleh: Kayla Untara

HARI INI ulun (saya) serasa mendapat tamparan keras yang menghantam tak sekadar wajah, namun langsung melesak hingga ke dada.

Bagaimana tidak, menjelang siang tadi, ulun dan beberapa rekan melakukan pengecekan terakhir kesiapan sapi kurban yang ada di Desa Sarang Halang, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan (Kalsel) yang akan dibawa ke Desa Mualaf Patikalain di Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah (HST).

Saat menuju kandang sapi, secara kebetulan kamimelewati sebuah pondok kayu reot berukuran sekitar 1,5m x 2m yang rupanya dihuni dan jadi tempat tinggal seorang lelaki paruh baya.

Saprudin, lelaki paruh baya penghuni gubuk reot itu. Usianya “baru” 59 tahun, namun kondisi kesehatan membuat penampilannya terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya.

Dari bincang singkat kami, rupanya beliau menderita gula darah (diabetes kering, menurut istilah Saprudin). Penyakit itulah yang menggerogoti hingga wajah dan tubuhnya nampak kurus sekali. Bahkan, sebelah tangannya mengalami kelumpuhan.

Makin miris tatkala mendengar penuturannya, bahwa keadaan seperti itu sudah berlangsung delapan tahun lamanya.

Dengan kondisi badan setengah lumpuh yang jika ingin duduk saja mesti menahan sakit, lantas tinggal di gubuk yang jelas sangat tidak layak, ditambah lagi yang menurut pengakuannya, bahwa tak satupun dari anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang, mau peduli.

“Aku ini dibuang,” ujar Saprudin yang kalimatnya itu terasa menghantam dada bertubi-tubi.

Saprudin pun berkisah, bahwa ia beberapa kali menikah namun semuanya sudah bercerai. Kecuali dengan satu orang wanita, namun juga sudah lama berpisah tanpa status yang jelas.

Meski ia bercerita dengan lugas, namun jelas terasa ada keperihan yang tertahan ditiap kalimatnya. Sempat terlintas pertanyaan, apa mungkin ada anak membuang orang tuanya sendiri?

Mungkin sering kita mendengar atau melihat di televisi, bahwa ada banyak peristiwa yang sama di tempat lain, nun jauh di sana. Dan hari ini, ulun menghadapi langsung fenomena itu.

Sebuah keadaan nyata dimana ada seorang Ayah yang “ditelantarkan” anak-anaknya, hanya karena menderita lumpuh. Allahu Rabbi, bagaimana mungkin?

Orang tua yang sedang sakit dibiarkan hidup di gubuk reot, sendirian tanpa ada pelayanan dengan tempat yang jelas tak layak huni, yang bahkan untuk kandang kambing sekalipun tak memenuhi syarat.

Tanpa penerangan dan tanpa fasilitas air bersih. Jika hujan, mesti rela menahan dingin karena atap pondok sudah bocor. Belum lagi bila bicara soal sanitasi MCK.

Ketika ulun tanya, “Pian bahira bakamih, kayapa? (“Untuk berak dan kencing, bagaimana?),”

“Di sini pang,” Jawab Saprudin. Lirih.

Jawaban semacam itu yang begitu kuat menghujam, bagai beliung melesak ke dalam dada. Membayangkan hidup di gubuk sekecil dan sereot itu saja sudah perih, bagaimana mungkin bisa menjalaninya selama delapan tahun dengan kondisi mesti buang air di tempat dimana disitu juga untuk makan dan di situ pula untuk tidur. Bahkan, kandang kambing pun ada tempat sendiri untuk makan dan minum.

Sempat terpikir, ada salah apa ia dengan anak-anaknya di masa lalu, hingga tega membiarkan keadaan semacam itu terjadi.

Namun kiranya, apapun atau entah bagaimana jua pun perlakuannya pada anak-anaknya dahulu, tetap tidak bisa dijadikan pembenaran atas derita Saprudin kini. 

Untuk kebutuhan makan, ujar Saprudin, hanya bersumber dari kepedulian seorang saudara kandungnya. Jatah makannya hanya satu kali sehari, namun itu dirasa cukup karena memang Saprudin merasa nafsu makannya sudah terpenuhi.

Saat membuat rekaman video tentang orang tua itu, ulun mesti beberapa kali menahan nada suara karena betul-betul spechless mendapati kondisinya yang sangat memprihatinkan.

Bahkan beberapa kali mesti menarik nafas karena rasanya malu dengan diri sendiri. Kehilangan kata demi kata karena terbayang bahwa ini adalah kenyataan, bukan sinetron di televisi.

Pengalaman hari ini terasa menyentak kesadaran, bahwa betapa kecilnya persoalan dan kesusahan yang kita hadapi jika dibandingkan dengan persoalan dan kepayahan yang menimpa Saprudin.

Dalam beberapa tahun ini, ulun mengalami kondisi sulit akibat beragam persoalan usaha yang dihadapi. Kadang terbersit perasaan kesal dan marah dengan keadaan dan bahkan muncul penyesalan.

Namun Saprudin di siang hari ini memberi pelajaran sekaligus pukulan keras, bahwa betapa pun beratnya ujian kita, jauh di sana masih banyak orang-orang yang mengalami cobaan berkali lipat dari apa yang kita jalani.

Menuliskan cerita ini, ulun masih tak mampu mengenyampingkan rasa emosional.  

Saprudin bukanlah Abah ulun, bukan orang tua yang mengasuh sedari kecil hingga dewasa. Tapi ulun juga punya Abah dan anak yang berharap tidak mengalami derita yang sama.

Saprudin, lelaki renta yang dulunya hanya bekerja sebagai “panaikan nyiur” (pemanjat kelapa) itu, nampaknya hari ini menjadi guru kehidupan ulun pribadi dan semoga juga bagi kalian yang menyempatkan membaca tulisan ini. (ra)

Penulis: Kayla Untara

Silahkan Bagikan / Share :

3 thoughts on “Saprudin

  1. Maaf, saya tidak jadi minta data dan kontak person
    Setelah saya hubungi kawan2 relawan dan dinsos HSS, ybs di berita tsb sudah pernah mendapatkan bantuan bedah rumah, namun tidak ditempati
    Sudah dapat BLT tiap bulan, kawan2 relawan juga sering membantu
    Informasinya ini kasus lama dan ada intrik / konflik keluarga

    1. ya. sebenarnya dalam postingan yang ada di medsos (WAG) tulisan ini disertai kutipan video bincang dengan beliau. Pada saat ditanya apakah dapat bantuan BLT, Pengakuan beliau menerima.
      but, soal rumah itu kd tau apakah dapat atau tidak tapi terlepas dari apapun persoalan pribafi internal keluarga beliau nampak tetap tidak bisa dijadikan pembenaran atas kondisi yang saat ini terjadi. Yang jelas Pak saprudin butuh bantuan medis supaya bisa lebih mandiri dan bisa mengurus diri sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Ratusan Mahasiswa di Kalsel Demo DPRD Provinsi Tolak Pembahasan RKUHP

Rab Jul 6 , 2022
"Yang dikritisi dari rancangan RKUHP itu adalah, ada beberapa yang melanggar asas-asas demokrasi dan kebebasan dalam berpendapat”

You May Like