
JOKOWI alias Joko Widodo resmi memberlakukan larangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil; CPO) dan beberapa produk turunannya mulai Kamis, 28 April 2022, hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Kebijakan itu dinilai kontroversial, dan dipastikan berdampak negatif ganda: kepada pelaku usaha, juga terhadap tiga juta petani sawit di Indonesia.
Di Kalimantan Selatan, kelapa sawit merupakan komoditas andalan kedua di sektor pertanian setelah karet.
Luas keseluruhan areal perkebunan kelapa sawit di provinsi ini tercatat 426.445 hektare.
Dari jumlah tersebut, 80,05 persen atau 341.369 hektare merupakan milik PBS (Perkebunan Besar Swasta), 1,32 persen atau 5.629 hektare milik PBN (Perkebunan Besar Negara), dan sisanya, 18,63 persen atau 79,446 hektare adalah PR (Perkebunan Rakyat).
Ada ratusan ribu kepala keluarga yang secara langsung bergantung pada hasil panen dan penjualan kelapa sawit di Kalimantan Selatan.
Petani atau pekerja yang dilibatkan dalam inti-plasma oleh PBS saja, jumlahnya diketahui mencapai sekitar 80 ribu KK (kepala keluarga).
Belum lagi yang dipekerjakan oleh PBN, ditambah petani yang menanam kelapa sawit secara mandiri atau perkebunan rakyat.
Salah satu dampak nyata dari kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunannya oleh Joko Widodo tadi adalah penurunan harga TBS (tandan buah segar) petani kelapa sawit.
Rendahnya penyerapan CPO akibat larangan ekspor, otomatis akan membuat harga TBS tertekan.
Sejumlah pabrik kelapa sawit saat ini sudah sulit menerima TBS dari petani, karena tanki-tanki penyimpanan CPO telah penuh.
Dari pantauan di lapangan, penurunan harga TBS kelapa sawit terjadi di hampir seluruh wilayah, pasca-pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya dua pekan lalu.
Lantas, apakah petani sawit di Kalimantan Selatan harus berhenti memanen komoditas bernama Latin Elaeis guineensis Jacq. itu?
Ternyata jangan! Apapun yang terjadi, kelapa sawit tetaplah harus dipanen, dan tidak boleh dibiarkan membusuk di pohon.
“Ada dampak (buruk) jangka pendek dan jangka panjang apabila buah yang sudah matang dibiarkan di pohon,” kata Eko Zulkifli, Konsultan Perkebunan Sawit, dikutip dari Majalah Sawit Indonesia, Jumat (13/5/2022).
Menurut Eko, ada dua dampak jangka pendek apabila buah sawit tidak dipanen.
Pertama, CPO yang dihasilkan akan menurun kualitasnya, karena akan terjadi kenaikan Asam Lemak Bebas atau Free Fatty Acid (FFA).
Dampak kedua adalah terlalu banyak buah yang overripe alias terlalu matang, bahkan akan menjadi busuk.
“Brondolan semakin banyak, sehingga menyulitkan pekerja panen dalam mengutip brondolan. Bahkan banyak brondolan yg tidak dikutip jika pengawasan kurang,” ujarnya.
Dampak jangka panjangnya, akan terjadi potensi penyakit yang disebabkan oleh jamur karena banyak buah tidak dipanen sehingga menjadi busuk.
Akibatnya, tanaman akan terganggu pertumbuhannya, dan kemudian akan terjadi yang namanya “trek” buah.
Dalam berbagai literatur disebutkan, kelapa sawit yang tidak segera dipanen berpotensi memicu jamur marasmius palmivorus.
Faktor kelembaban udara juga turut memicu munculnya cendawan yang bersifat saprofit ini.
Marasmius palmivorus bisa berkembang biak jika tidak segera dikendalikan.
Patogen akan cepat menyebar, lalu menyerang buah sawit lain di sekitarnya.
Hadirnya jamur ini ditandai miselium berupa benang-benang halus berwarna putih yang mengikat di permukaan buah kelapa sawit.
Kemudian, benang putih itu akan tumbuh semakin meluas.
Jamur akan melakukan penetrasi ke dalam lapisan mesokarp atau daging buah sawit, sehingga menyebabkan timbulnya kebusukan basah.
Di Indonesia, serangan marasmius palmivorus ini termasuk salah satu yang paling parah, dengan tingkat kerusakan mencapai lebih dari 25 persen.
Tanpa pengendalian yang baik, perusahaan maupun petani akan mengalami kerugian yang lebih besar.(sahrudin)