
MENURUT sensus tahun 2021, jumlah penduduk Kota Banjarmasin tercatat sebanyak 662.320 jiwa, yang tersebar di lima kecamatan dan 52 kelurahan.
Jika rata-rata setiap kelurahan memiliki empat RW, berarti warga yang menghuni tiap RW di Banjarmasin mendekati 3.200 orang.
Hanya sejumlah itulah kira-kira penduduk Banjarmasin pada 1824, atau 198 tahun silam.
Dana Listiana (2011), dalam bukunya yang berjudul “Banjarmasin Akhir Abad XIX hingga Medio Abad XX – Perekonomian di Kota Dagang Kolonial”, menyediakan satu bab tersendiri, khusus untuk membahas populasi penduduk “Bandjermasin” sejak 1824 hingga 1939.
Data-data mengenai jumlah penduduk Banjarmasin dalam kurun waktu tersebut, dapat dibaca di halaman 147-155. Berikut ringkasannya:
Jumlah penduduk Banjarmasin pada 1824 diperkirakan sekitar 3.000 jiwa (Anon., 1838: 4).
Sementara populasi pada akhir Desember 1850, adalah 5.139 jiwa. Rinciannya terdiri atas orang Eropa 110 orang; orang asli Borneo sejumlah 972 orang; orang Cina, Melayu, Moor, Arab, dan orang Timur Asing lainnya 954 orang.
Istilah “Moor” atau “Mor” merupakan sebutan yang diberikan oleh orang-orang Eropa untuk pendatang Arab atau Muslim dari sekitar Pantai Laut Tengah dan Sahara Afrika.
Sementara total penduduk di wilayah Schans van Tuyl (atau yang sekarang bernama Mantuil, Banjarmasin Selatan) adalah 448 orang. Terdiri dari dua orang Eropa dan 446 orang asli Borneo (Algemeen Verslag, 1850).
Lalu sekitar tahun 1860, penduduk Banjarmasin diketahui sebanyak 5.650 orang (van Rees, 1865: 20).
Pada 1 Januari 1887, penghuni Banjarmasin bertambah menjadi 8.549 orang.
Jumlah itu, belum termasuk garnisun yang terdiri atas tiga kelompok dari batalion garnisun dan dua kelompok batalion lapangan (Jaarboek Mijnwezen, 1893: 13).
Pada 1905, kota yang mulanya bernama Bandar Masih tersebut sudah ditinggali kurang lebih 16.700 orang. Mereka terdiri dari 455 orang Eropa, 12.700 pribumi, 2.600 orang Cina, 900 orang Arab dan 80 orang Timur Asing (Paulus: 137).
Pada 1920, penduduk Banjarmasin tercatat sekitar 46.993 jiwa, meliputi 752 orang Eropa, 3.207 orang Cina, 1.276 orang Arab, 97 orang Timur Asing lainnya dan 4.1661 pribumi (Stibbe et al, 1927: 268 cf. Volkstelling, 1930: 46).
Kemudian pada 1930, pemerintah kolonial Belanda mendata adanya 64.223 orang yang tinggal di Bandjermasin, dengan rincian 56.346 pribumi, 1.022 orang Eropa dan peranakan, 4.940 orang Cina, dan 1.915 orang Timur Asing lainnya (Volkstelling, 1930: 46).
Adapun pada 1939, sebuah buku panduan wisata “Stockums Travellers Handboek” menyebutkan, warga Kota Banjarmasin telah mencapai 75.000 orang, dimana orang Eropanya meningkat hingga 1.400 jiwa (Wijdenes, 1939: 105 cf. Helbig, 1939: 259).
Tabel berikut akan mempermudah melihat angka pertumbuhan penduduk Banjarmasin dari tahun ke tahun.

Dari tabel itu terlihat bahwa jumlah penduduk meningkat secara signifikan sejak awal abad ke-20.
Peningkatan tersebut diduga terkait masuknya transmigran dari Jawa dan Madura, yang didatangkan pemerintah Hindia Belanda untuk meningkatkan kegiatan pertanian di Banua Banjar.
Satu hal yang mengejutkan dan cukup disoroti oleh para pejabat Belanda adalah, meningkatnya jumlah orang Eropa di Banjarmasin menjelang pertengahan abad ke-20.
Peningkatan jumlah orang Eropa itu disebabkan kebijakan ekonomi pemerintah Hindia Belanda yang membuka luas daerah koloni (Borneo Selatan dan seluruh wilayah Hindia Belanda) bagi investor perseroan Eropa.
Investor tersebut sebagian besar menanamkan sahamnya dibidang perdagangan ekspor-impor, perkebunan dan pertambangan. Mereka kemudian membangun perwakilan dagangnya di Kota Banjarmasin.
Selain kantor, mereka juga memperkerjakan pegawai Eropa untuk mengelola perusahaannya.
Mengenai jumlah penduduk di kawasan sekitar Banjarmasin baik Afdeeling (kabupaten) maupun Onderafdeeling (kawedanan), akan menggambarkan cakupan dan lalu-lintas masyarakat, yang kemungkinan melakukan aktivitas ekonomi di kota.
Pada masa itu, sebagaimana daerah-daerah lain di Hindia Belanda, Banjarmasin terdiri dari dua macam pemerintahan daerah atau wilayah administratif, yaitu Afdeeling dan Onderafdeeling. Afdeeling dipimpin oleh Asisten Residen dan Onderafdeeling dikepalai Controleur atau Kontrolir.
Penduduk Onderafdeeling Banjarmasin pada 1930 adalah 86.778 jiwa. Terdiri dari 78.792 pribumi, 1.029 orang Eropa dan peranakan, 4.979 orang Cina serta 1.978 orang Timur Asing lainnya (Volkstelling, 1930: 16).
Sementara penduduk Afdeeling Banjarmasin, berdasarkan perhitungan penduduk tahun 1920, diketahui berjumlah 192.395 orang, dengan rincian 185.509 orang pribumi, 868 orang Eropa dan peranakan, 3.990 orang Cina serta 2.028 orang Timur Asing lainnya.
Pada 1930, jumlah penduduk meningkat menjadi 210.574 jiwa, dengan rincian 200.801 pribumi, 1.165 orang Eropa dan peranakannya, 5.694 orang Cina serta orang Timur Asing lainnya sejumlah 2.914 orang (Volkstelling, 1930: 16).
Berdasarkan komposisi penduduk, kelompok masyarakat Banjar adalah penduduk mayoritas di Banjarmasin.
Kelompok masyarakat (groepsgemeenschap) dengan nama Banjar, dibentuk oleh Belanda berdasarkan ordonansi di Lembaran Negara Tahun 1938 No.133, sebagai dengan dasar Groepsgemeenschap Ordonantie (Undang-Undang Kelompok Masyarakat) dalam Indische Staatsblad 1937 No. 464.
Ordonansi tersebut menyatakan bahwa kelompok masyarakat Banjar terdiri atas masyarakat di Afdeeling Hulu Sungai dan Afdeeling Banjarmasin (kecuali onderafdeeling Pulo Laut-Tanah Bumbu) (Paulus, dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie Supplement, 1917/1918: 1876).
Seorang pejabat Belanda menyatakan bahwa etnis Banjar itu sulit untuk “didefinisikan” dan bahasanya banyak mendapatkan pengaruh dari luar.
Mereka memiliki seperti apa yang dimiliki orang Minangkabau, Madura, Jawa, Arab dan Dayak. Karenanya, orang Banjar dikatakan sebagai etnis yang sedikit kosmopolitan (terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari berbagai bagian dunia).
Kecuali itu, orang Banjar juga dikabarkan memiliki sifat yang tidak menunjukkan rasa takut terhadap Belanda. Dibandingkan dengan pribumi lainnya, orang Banjar juga relatif kaya sebagai petani karet dan pedagang.
Orang-orang Dayak dikabarkan tinggal di pedalaman dengan waktu tempuh sekitar dua atau tiga hari dari kota.
Oleh karena itu, mereka masih dianggap misteri dan yang dikenal luas adalah penampilannya yang belum berpakaian dan profil perempuan bertelinga panjang hingga bahu serta momok pemenggalan kepala yang simpang siur.
Koloni Jawa juga cukup banyak di Borneo Selatan, khususnya di Banjarmasin.
Koloni Jawa dipercaya telah datang sejak masa Majapahit dan belakangan didatangkan oleh Inggris dan pemerintah Hindia Belanda untuk percobaan pengembangan serta perbaikan teknik bersawah dan berkebun. (sah)