
POTRET-potret orang Dayak atau tempat-tempat di pedalaman Kalimantan antara tahun 1910 hingga 1930an, bisa dengan mudah kita jumpai melalui internet.
Gambar-gambar bersejarah itu seringkali tak diketahui fotografernya. Tapi bisa jadi, foto-foto itu merupakan karya Jan Jongejans.
Jan Jongejans adalah pejabat pemerintah kolonial Belanda, yang selama kurun waktu itu ditugaskan di Hindia Belanda (sebelum bernama Indonesia).
Catatan perjalanan Jan Jongejans tertulis dalam sebuah buku berjudul “The government official Jan Jongejans (1883–1939)”.
Buku tersebut ditulis oleh Janneke van Dijk, dan diterbitkan oleh KIT (Koninklijk Instituut voor de Tropen) Amsterdam pada 2012.
Cerita dan potret-potret karya Jongejans dapat dibaca mulai halaman 71, pada bab “Photographs of the Netherlands East Indies at the Tropenmuseum” (Foto-foto Hindia Timur Belanda di Tropenmuseum).
Disebutkan bahwa Jongejans pernah ditempatkan di Sumatera, Jawa, Sulawesi dan tentu saja, Borneo atau Kalimantan.
Di Kalimantan, ia mendatangi wilayah-wilayah bagian tenggara dan selatan, lalu ke tengah, serta bagian barat, timur sampai utara.
Potret-potret yang dibuat selama berada di Kalimantan, diserahkan oleh Jongejans sendiri kepada Tropenmuseum di Amsterdam pada tahun 1929.
Tropenmuseum merupakan museum antropologi yang berdiri sejak 1864.
Saat itu Jongejans sedang libur cuti dan pulang ke Belanda.
Diantara berbagai daerah dimana Jongejans pernah ditempatkan, sepertinya Kalimantan menjadi yang sedemikian berkesan baginya.
Sampai-sampai, ia kemudian menulis sebuah buku tersendiri, yang berisi catatan-catatan penting mengenai perjalanannya di pulau ini.
Buku tersebut ia beri judul: “Uit Dajakland: Kijkjes in het Leven van den Koppensneller en Zijne Omgeving” (Dari Tanah Dayak: Sekilas tentang Kehidupan Pemburu Kepala dan Lingkungannya).
Semasa Jongejans berada di Kalimantan, suku-suku Dayak yang ia jumpai masih melakukan kebiasaan memenggal kepala musuh (ngayau) dalam sebuah peperangan.
Dalam peperangan antar subsuku, kepala musuh menjadi bukti atas upaya mengalahkan kelompok yang dianggap musuh.
Tradisi ngayau ini sebenarnya sangat jarang dilakukan terhadap “orang luar”, kecuali yang dirasa sudah mengancam kehidupan mereka.
Ngayau justru lebih sering dilakukan terhadap sesama penduduk asli atau sesama suku Dayak, manakala terjadi peperangan antar-subsuku.
Hal menarik yang dicatat Jongejans, yaitu bahwa tradisi ngayau sebenarnya sudah disepakati untuk diakhiri secara adat sebelum tahun 1900.
Namun, kondisi alam di Kalimantan menyebabkan sulitnya penyebaran informasi kesepakatan tersebut kepada subsuku-subsuku Dayak di tempat lain.
Sehingga, masih ada orang yang melakukan tradisi itu hingga beberapa masa sesudahnya. (sah/bersambung)