JAKARTA (TABIRkota) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menetapkan Bupati Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan (Kalsel), Abdul Wahid sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi sebesar Rp18,9 Miliar terkait pengadaan barang dan jasa pada tahun 2021-2022.
“KPK melakukan penyelidikan yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup dan selanjutnya meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan tersangka AW (Abdul Wahid),” ujar Ketua KPK Firli Bahurin dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (18/11) yang disiarkan melalui laman youtube KPK RI.
Perkara tersebut, kata Firli Bahurin, berawal dari kegiatan tangkap tangan yang dilakukan KPK pada 15 September 2021 di HSU.
“Atas OTT tersebut KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka yaitu Plt Kadis PU pada Dinas PUPR HSU, Maliki, Direktur CV Hanamas Marhaini dan Direktur CV Kalpataru Fachriadi,” katanya.
Firli menyampaikan, Abdul Wahid selaku Bupati HSU diduga menunjuk Maliki sebagai Plt Kepala Dinas PUPRP HSU.
“Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh MK (Maliki) untuk menduduki jabatan tersebut karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka AW,” ujarnya.
Penerimaan uang oleh Abdul Wahid, katanya, dilakukan di rumah Maliki pada Desember 2018, kemudian pada awal tahun 2021, Maliki menemui Abdul Wahid di rumah dinas jabatan Bupati untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara tahun 2021.
“Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, MK telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek dimaksud,” kata Firli.
Selanjutnya, Abdul Wahid diduga menyetujui paket plotting ini dengan syarat adanya pemberian fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee yaitu 10 persen untuk Abdul Wahid dan 5 persen untuk Maliki.
“Adapun pemberian commitment fee yang antara lain diduga diterima oleh tersangka AW melalui MK, yaitu dari MRH (Marhaini) dan FH (Fachriadi) dengan jumlah sekitar Rp 500 juta,” kata Firli.
Ia menambahkan, selain melalui perantaraan Maliki, Abdul Wahid juga diduga menerima fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara. Adapun penerimaan itu terjadi pada tahun 2019 sejumlah Rp 4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah kurang lebih Rp 12 miliar, tahun 2021 kurang lebih Rp 1,8 miliar.
“Selama proses penyidikan berlangsung, tim penyidik telah mengamankan sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan juga mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya,” tambahnya.
Atas perbuatannya, Abdul Wahid disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jo. Pasal 64 KUHP Jo. Pasal 65 KUHP.
Agar proses penyidikan dapat berjalan lancar, tim penyidik KPK melakukan upaya paksa hari terhadap tersaka AW dilakukan penahanan 20 hari pertama terhitung tanggal 18 November sampai 7 Desember mendatang dengan penempatan di Rutan Negara KPK di Gedung Merah Putih. (ist/RA)