Menimbang Rasa, Sebuah Gelar Bertajuk DR Honoris Causa

Penulis : Isratul Ikhsan

SATU kali dalam perjalanan pulang kerja, saya “nebeng” seorang kawan, mendampingi dengan posisi duduk di kursi depan mobilnya. Sambil mengemudi, telepon genggamnya berdering. Mungkin pertimbangan keselamatan, jaringan telepon ia sambungkan melalui fasilitas bluetooth mobilnya.

Terdengar jelas percakapan rekan saya itu dengan karibnya. Intinya, ia mengeluh betapa susah meneruskan program doktoral. Selain biaya, juga pengakuan umur yang bersisian dengan kapasitas otak yang kian melemah.

Kejadian lain, hampir serupa saya dapati dari seorang rekan sepuh di Banjarbaru. Lebih satu dekade waktu yang dihabiskannya untuk meraih gelar Doktor di sebuah universitas negeri di Semarang, Jawa Tengah.

Dalam tradisi perguruan tinggi, setidaknya masyhur dikenal dua gelar Doktor, Doktor Akademik dan Honoris Causa. Namun secara kultural, raihan gelar Doktor Akademik dan Doktor Honoris Causa, tentu berbeda. Gelar Doktor Akademik didapat usai jenjang panjang sistematika pendidikan tinggi dilalui. Ia didapat melalui serangkaian proses, dengan puncaknya menghadirkan teori anyar yang mampu dipertanggung jawabkan.

Sementara Doktor Honoris Causa, meski diatur Peraturan Menteri Ristekdikti nomor 65 tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan, pada pasal 1 menyatakan: Gelar doktor kehormatan (Doctor Honoris Causa) merupakan gelar kehormatan yang diberikan oleh perguruan tinggi yang memiliki program Doktor dengan peringkat terakreditasi A atau unggul kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan. Namun, bisa jadi meraihnya jauh lebih mudah, terutama untuk kasus di Indonesia.

Meski demikian, sejatinya tak seturut kemudahan memberi sedekah atau sekadar perkara suka dan tidak suka pada seseorang yang bakal ditasbihkan menerima gelar kehormatan ini. Timbang rasa terhadap jasa luar biasa pada ilmu pengetahuan dan teknologi atau kemanusiaan harus dilakukan. Pada ranah ini, universitas tentu memiliki pemahaman tak terbantahkan.

Namun wajar belaka, jika publik kerap dikejutkan ihwal pemberian gelar Doktor Kehormatan pada perorangan yang kiranya jauh dari timbang rasa atas jasanya terkait IPTEK maupun perkara kemanusiaan. Sebutlah misalnya Megawati yang pada 2018 lalu menerima gelar ini dari IPDN, karena dianggap berjasa membangun kebijakan strategis politik pemerintahan. Meski mafhum diketahui dalam prosesnya, tersemat nama Dai Bachtiar dan AM Hendropriyono, keduanya pernah menjabat Kapolri dan Kepala BIN semasa Megawati menjabat presiden sebagai tim ahli penyeleksi pemberian gelar tersebut.

Atau resistensi para dosen UNY terhadap langkah rektornya terkait pemberian gelar Doktor Kehormatan pada Menter Desa Tertinggal, Abdul Halim, pertengahan Juli 2020. Kala itu, yang bersangkutan mencalonkan diri sebagai calon Bupati Gunung Kidul, Yogyakarta.

Tradisi Doktor Kehormatan, Tradisi Kepentingan Politik

Kiwari, pemberian gelar Doktor Kehormatan (DR HC) ini, kembali menuai polemik. Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menganugerahkan gelar tersebut pada Gubernur Kalsel, Sahbirin Nor yang karib disapa Paman Birin.

Rektor ULM, Prof Sutarto Hadi menilai Paman Birin sangat layak menerima gelar itu, karena kontribusinya di bidang pertanian. Ia lantas merujuk pemanfaatan lahan seluas 4 hektare di Batola dan juga surplus beras. Sutarto juga berujar, pemberian gelar DR HC ini menjadi tema hangat di jagad pemberitaan Kalsel, yang membuktikan Paman Birin adalah sosok istimewa. Selain itu, dalam kesempatan lain Paman Birin turut diakui Sutarto sebagai orang yang rajin “menyumbang” pada ULM.

Dibalik mewahnya pemberian gelar itu, sosok Paman Birin juga tak lepas dari pemahaman khalayak sebagai sosok yang dibesarkan dunia pertambangan batu bara di Kalsel, yang kerap dituding sebagai biang keladi deforestasi hutan, hingga berujung banjir besar di sejumlah wilayah di Kalsel beberapa waktu lalu.

Upaya menghidupkan lahan pertanian pun, nir terdengar jika dibandingkan laju alih fungsinya. Menyitir data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalsel 2021 misalnya, 1,2 juta hektar lahan sudah beralih menjadi tambang, 600 ribu hektare lebih berupa perkebunan kelapa sawit. Angka tersebut bakal kian membengkak jika menelisik alih fungsi lahan menjadi pemukiman penduduk. Bisa dibayangkan, dari 3,7 juta hektare total luas wilayah Kalsel, berapa yang tersisa untuk pertanian (bukan hanya padi).

Meski demikian, tradisi pemberian gelar Doktor Kehormatan dalam rentang sejarah pendidikan tinggi Indonesia, lebih bertumpu pada subjektivitas si pemberi gelar. Persoalan polemik dan penolakan, bodoh amat.

Kedekatan yang berujung pada privelege akses keuangan atau saluran politik pada pemberi gelar, memang menarik diperebutkan, hingga wajar belaka, jika penerima gelar Doktor Kehormatan ini kerap menyasar para publik figur dan pejabat publik yang jasanya terhadap perkembangan IPTEK dan kemanusiaan, masih bisa diperdebatkan.

Melindungi Marwah Kampus, Melindungi Nalar Akademik

Lekatnya konflik kepentingan dalam pemberian gelar kehormatan ini, sedianya membuka ruang yang berpotensi menjatuhkan predikat kampus sebagai wadah independen yang mempertautkan beragam ide, sekaligus benteng kemurnian ilmu pengetahuan. Nilai-nilai implementasi akademis dalam Tridharma Perguruan Tinggi, sekaligus terciprat noda jika perilaku semacam ini, mengalami pembiaran.

Mencontoh sejumlah universitas terkemuka di Amerika, seperti Cornell, Stanford dan UCLA, yang menolak pemberian gelar DR HC sebab perkara konflik kepentingan. Sikap tegas semacam itu, bisa jadi sebuah pilihan.

Namun seandainya pemberian gelar DR HC masih diperlukan, guna mengapresiasi sekaligus stimulan bagi perkembangan IPTEK dan kemanusiaan, mengutip Nizamuddin Sadiq, pengajar Bahasa Inggris di UII Yogyakarta dalam artikelnya pada sebuah laman opini online, sekurangnya ada tiga hal yang mesti dipenuhi.

Pertama, penerima dan pemberi gelar, tak saling menggoda. Baik senat universitas maupun rektor, tak silau untuk menarik pejabat publik sebagai kandidat penerima gelar. Pun dengan pejabat publik terkait, mampu mengambil sikap tegas menolak pemberian.

Kedua, universitas atau perguruan tinggi, berkomitmen menghindari pemberian gelar pada personal dan momentum politik tertentu. Ketiga, seleksi ketat, bahkan jika perlu melibatkan publik untuk menilai tepat tidaknya seseorang menerima anugerah Doktor Kehormatan ini.

Tiga langkah ini setidaknya mampu mempersempit celah main mata pemberi dan penerima gelar, yang bisa jadi berujung pada runtuhnya marwah universitas. Sebab, jika sekadar persoalan paling sering menyumbang pada kampus sebagai dasar pemberian gelar terhormat ini, syahdan bakal bejibun orang bergelar doktor di Republik, tapi yang jelas bukan kita. Kenapa, karena kita tidak punya uang untuk sekedar memberi sumbangan.(RA)***

Penulis : Isratul Ikhsan
Alumni FISIP Unlam 2011, Ketua Umum KOMPAS Borneo UNLAM 2005-2007. Tertarik pada isu politik dan Humaniora, tinggal di Tabalong
Silahkan Bagikan / Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Kejurprov Panjat Tebing, Atlit FPTI Tabalong Boyong Tiga Emas, Satu Perak dan Tujuh Perunggu

Sel Nov 2 , 2021
TANJUNG (TABIRkota) – Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Kabupaten Tabalong berhasil memboyong tiga emas, satu perak dan tujuh penjuru pada Kejuaraan Provinsi (Kejurprov) Panjat Tebing di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut yang berlangsung sejak 26 hingga 31 Oktober 2021 lalu. Menurut Ketua Harian FPTI Tabalong, Muhammad Zainanini, hingga klesemen akhir perolehan […]

You May Like