Oleh: Rusmanadi
KERJA SAMA antar anggota kelompok tersebut, menciptakan sebuah harmonisasi dan kebersamaan serta kekeluargaan diantara mereka. Di sini, kejujuran sangat diutamakan. Mereka menganut pepatah Banjar, yaitu “samuak saliur” yang maknanya kurang lebih sama dengan pribahasa “senasib sepenanggungan”.
Ukuran intan mentah yang kadang sangat kecil, bisa saja disimpan atau diselipkan kedalam saku oleh penemunya. Namun hal tersebut tidak pernah dilakukan. Setiap ada seorang pendulang yang menemukan intan, maka ia akan berteriak, “Galuh…!!! Galuh…!!!”.
Kepercayaan bahwa intan merupakan batu mulia yang ada penunggu makhluk ghaibnya, membuat para pendulang sangat mematuhi aturan tak tertulis yang berkembang. Seperti harus berlaku jujur serta tidak boleh berkata jorok dan kotor atau mengumpat. Bila larangan itu dilanggar, maka kesialan akan menimpa dan intan tidak akan bisa di dapat.
“Tidak ada rasa curiga diantara kami. Karena bila ada yang melanggar pantangan, dia akan menuai kesialan,” ujar pendulang lainnya, Muis.
Intan yang di dapat, diserahkan kepada pemilik lahan yang kemudian menjualnya ke Kota Martapura, ibu kota Kabupaten Banjar yang merupakan sentral penjualan dan penggosokan batu mulia, untuk kemudian membagikannya. Sering pula pembeli datang langsung ke lokasi penambangan. Bila ada pengunjung yang datang, bisa juga membeli langsung di sana dan tentu saja harganya jauh lebih murah dibandingkan harga pasaran.

Selain intan, para pendulang sering pula menemukan butiran emas. Bahkan untuk batu berharga lain seperti akik dan kecubung, banyak berserakan di sana. Pengunjung bahkan boleh saja mencari dan mengambilnya sendiri ditumpukan batu-batu di areal penambangan tersebut.
“Untuk batu akik dan kecubung, biasanya kami gosok dan jual sebagai souvenir kepada pengunjung yang datang,” kata Muis.
Harga sebuah batu akik dan kecubung yang telah diasah sangat murah. Berkisar antara Rp5 ribu hingga Rp10 ribu per butir. Bila membeli dalam jumlah banyak, harganya akan lebih murah lagi.
Perjuangan para pendulang intan tradisional di Desa Pumpung ibarat mengejar sesuatu yang tak pasti. Mereka hanya dapat menggantungkan asa pada kubangan-kubangan air berlumpur. Sedang intan, belum tentu di dapat dengan mudah.
Menurut pengakuan para pendulang, seringkali dalam satu minggu tak sebutir intanpun di dapat, dan bahkan hingga hitungan bulan. Bila sudah begitu, tak ada hasil apapun yang bisa dibawa pulang ke rumah. Kondisi tersebut membuat kehidupan mereka tak seindah kemilau Galuh Cempaka.
Sebagian besar dari para pendulang itu bahkan hidup dengan kemiskinan. Sehingga menyebabkan banyak anak-anak mereka terpaksa juga harus berprofesi sebagai pendulang intan untuk membantu perekonomian keluarga. Selain itu, hasil mendulang intan para anak-anak tersebut mereka pergunakan juga untuk keperluan sekolah sehingga tak perlu meminta kepada orang tua.
“Untung-untungan, tergantung nasib. Bila nasib sedang bagus, dapat intan dan uangnya bisa untuk naik haji,” ujar Haris yang disambut gelak tawa rekan-rekannya.
Etnis Banjar adalah muslim yang taat. Karena itulah, naik haji atau menunaikan ibadah haji ke Mekkah merupakan keinginan dan cita-cita terbesar mereka. Seseorang yang sudah melaksanakan ibadah haji, status sosialnya akan terangkat meskipun hidup dalam kekurangan.
Dapat menemukan sebongkah intan dengan karat yang besar seperti intan Trisakti di masa lalu, seolah menjadi mimpi para pendulang di Desa Pumpung. Bak mengejar harta karun di ujung pelangi. Keinginan untuk dapat mengubah nasib dan menunaikan ibadah haji, membuat mereka bertahan di kubangan air bercampur lumpur setiap harinya. Berkawan panas sang surya, terpaan angin dari lembah di pegunungan Meratus dan hujan yang mendera.
Keinginan besar itu mampu mengalahkan kekhawatiran dan ketakutan akan terjadinya musibah. Karena tak jarang, para pendulang tertimbun di lubang galian. Sering juga, seorang penambang tewas disambar petir saat beraktivitas mendulang intan di kala hujan lebat.
Mereka tak pernah peduli meski nyawa taruhannya. Galuh Cempaka, pesonanya memancar indah meski tak mampu menembus tembok kemiskinan para pendulang di sana. (bersambung)

Rusmanadi lahir di Desa Kayu Bawang, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar. Penerima Anugerah Karya Jurnalistik LKBN Antara 2012 ini banyak menulis tentang budaya dan kearifan lokal etnis Banjar serta pernah melakukan riset dan menulis tentang eksistensi dan resistensi migran Banjar di Semenanjung Malaya (Malaysia Barat). Konsen menulis tentang masyarakat adat Dayak Meratus hingga menghasilkan buku “Tentang Meratus – Warisan Tanpa Pewaris”. Selain menulis, terlibat pembuatan beberapa film dokumenter tentang budaya dan kearifan lokal etnis Banjar dan Dayak Meratus. Sering menjadi nara sumber workshop Jurnalistik dan Fotografi baik yang diselenggarakan instansi pemerintah, sekolah maupun korporasi. Selain Warisan Tanpa Pewaris, telah menulis buku Petaka di Ujung Senja dan Merawat Adat (kumpulan tulisan).
Sangat menarik tulisannya